Hadramaut menjadi rujukan keilmuan masyarakat tanah air, tak lepas dari hubungan historis-agamis antara kedua wilayah. Bahkan, hubungan itu telah berlangsung sekian abad, sebelum negara Indonesia berdiri. Ikatan tersebut setidaknya terjalin melalui tiga hal, yaitu dakwah Islam, pendidikan, dan perdagangan. Walisongo yang dikenal sebagai penyebar Islam di tanah Jawa pada abad ke 15 dan 16 M, leluhur mereka berasal dari Hadramaut. Walaupun masih ada pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan Samarqand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya tempat-tempat tersebut lebih merupakan jalur penyebaran para mubaligh, daripada merupakan asal-muasal mereka yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi bahwa Walisongo keturunan Hadramaut, diberikan oleh Muhammad Al-Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan.
Al-Baqir memiliki sekian bukti, di antaranya, pertama, penjelasan L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada 1884-1886 M. Dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies Arabes dans l’archipelIndien (1886), ia menyebut secara spesifik abad ke-15 M sebagai era maraknya kedatangan juru dakwah dari Arab. Abad ini merupakan abad spesifik kedatangan atau kelahiran sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Sebagaimana abad ini jauh lebih awal dari abad ke-18 M yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al-Habsyi, Al-Haddad, Al-Aydrus, Al-Aththas, Al-Jufri, bin Syihab, bin Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.
Kedua, hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafi’i, sama seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab Hanafi.
Ketiga, kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi’i bercorak tasawwuf dan mengutamakan Ahlul Bait; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba dan Barzanji, beragam Shalawat Nabi, do'a Nur Nubuwwah, Yasinan, Tahlil, dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu dan Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab fiqh Syafi’i Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al-Malabary dari Malabar, isinya memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha (yuris atau ahli fiqih) maupun kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut, karena Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi’i dengan pengamalan tasawwuf dan pengutamaan Ahlul Bait. Teori-teori tersebut menegaskan pendapat terkuat bahwa sebagian besar Walisongo adalah keturunan Hadramaut, Yaman. Karena itu, pendapat lainnya dianggap lemah dan tidak berdasar.
Membaca silsilah keturunan Walisongo, akan terbaca nama Abdul Malik bin Alwi. Dialah pria yang hijrah dari Hadramaut ke India, lalu keturunannya memasuki Nusantara sejak abad ke-14 M. Ia merupakan keturunan Al-Imam Al-Muhajir, seorang keturunan Rasulullah yang hijrah dari Bashrah, Irak, ke Hadramaut Yaman, sehingga wilayah tandus ini “dibanjiri” para keturunan Nabi Muhammad SAW. Walisongo sangat dikenal masyarakat Hadramaut, terutama oleh tokoh masyarakatnya.Mereka menyebutnya al-auliya al-tis’ah (para wali yang sembilan).
Pada periode selanjutnya, keturunan Al-Imam Al-Muhajir, yaitu ‘Alawiyyin atau dikenal dengan nama habaib, makin membanjiri Nusantara. Hal ini terjadi khususnya pada abad ke-18 M. van den Berg secara khusus menyorot saat-saat banyaknya imigran Hadramaut berdatangan. Pria yang pernah menjadi penasihat Belanda dalam soal Islam/Arab, dalam risetnya itu membuat beberapa kesimpulan. Menurutnya, sebelum 1859 M tidak tersedia data jelas mengenai jumlah orang Arab yang bermukim di Hindia Belanda. Di dalam catatan statistik resmi, mereka dirancukan dengan orang Benggali (India) dan orang asing beragama Islam.
Sejak 1870 M, dengan dimulainya pelayaran kapal uap kedatangan para imigran Hadramaut makin meningkat. Natalie Mobini Kesheh dalam Hadrami Awakening – Kebangkitan Hadhrami di Indonesia menyebut, kemudahan fasillitas ini didukung pula dengan dibukanya Terusan Suez pada tahun1869 M. Para habaib, kata van den Berg, cenderung cepat berasimilasi dengan penduduk setempat. Ia menyimpulkan, keturunan Arab mulai datang secara massal ke Hindia Belanda pada tahun-tahun terakhir abad ke-18 M. Sedangkan kedatangan mereka di pantai Malabar (India) jauh lebih awal.
Peningkatan ini, sebut Kesheh, tercermin dari gambaran berbagai sensus sejak 1885 M yang mengindikasikan bahwa saat itu terdapat 20.501 muhajir Arab tinggal di daerah jajahan Belanda: 10.888 muhajir Arab di Jawa dan Madura, serta 9.613 muhajir Arab di luar pulau. Hal ini menunjukkan peningkatan 45 persen dan 96 persen berturut-turut dalam periode 15 tahun sejak 1870 M. Mayoritas imigran berasal dari wilayah Katiri, salah satu dinasti yang pernah berkuasa di Hadramaut, khususnya dari lembah yang membentang antara kota Shibam dan Tarim.
Perhentian mereka yang pertama adalah Aceh. Dari sana mereka lebih memilih ke Palembang dan Pontianak. Keturunan Arab mulai banyak menetap di pulau Jawa pada 1820 M, sedangkan di Indonesia Timur pada 1870 M. Pendudukan Singapura oleh Inggris pada 1819 M, dan kemajuan besar negara pulau ini dalam bidang perdagangan dan ekonomi, membuat koloni Inggris ini menggantikan peran Aceh sebagai perhentian pertama kedatangan para imigran Hadramaut. Memang tidak ada kesepakatan atas pernyataan dari mana asal-usul Hadrami di Indonesia. Namun yang jelas imigran tersebut berasal dari berbagai lapisan masyarakat, yakni Sayyid (keturunan Nabi Muhammad SAW), masyayikh (sarjana), qaba-il (anggota suku), dan masakin (orang miskin atau tidak bekerja).
Menurut Alwi Syahab, di Hadramaut, menurut taksiran pada1366 H, keturunan Imam Ahmad Al-Muhajir, berjumlah 70 ribu jiwa, terdiri dari 200 marga. Jumlah ini diyakini jauh lebih kecil dibandingkan keturunannya yang bermukim di Indonesia. Mereka umumnya datang dari Hadramaut tanpa istri. Di tanah Nusantara, mereka kemudian menikahi wanita-wanita setempat. Karena itulah mereka menyebut pribumi Indonesia dengan akhwal yang berarti saudara dari ibu. Konon, banyak diantara istri penduduk setempat itu kemudian dibawa ke Hadramaut. Sekembalinya mereka di Tanah Air mereka membuat nasi kebuli dengan bumbu-bumbu Hadramaut. Padahal di Hadramaut sebagian besar penduduk tidak makan nasi, melainkan masakan dari gandum.
Ikatan historis antara Indonesia dengan Hadramaut juga dibuktikan dengan penggunaan beberapa kata bahasa Indonesia dan Jawa dalam bahasa ‘ammiyah (prokem) masyarakat Hadramaut hingga saat ini. Seperti kata kemul (jawa), selimut, sarung, sambal, kerupuk, plafon, dan sebagainya. Marga-marga habaib di Indonesia akan ditemui pula di Hadramaut, seperti Mauladdawilah, Assegaff, bin Syaikh Abu Bakar, Al-Aththas, Al-Jufri, bin Syihab, Al-Hamid, Al-Masyhur, dan sebagainya.
Beberapa ulama Indonesia mempunyai hubungan erat dengan tokoh-tokoh ulama di Hadramaut. Ziarah dan silaturahim tetap berkesinambungan sampai saat ini. Terutama saat ziarah Akbar Nabiyullah Hud ‘alaihissalam pada bulan Sya’ban. Sebagaimana ulama Hadramaut juga sering berdakwah ke berbagai tempat di Indonesia, seperti Pengasuh Rubath Tarim Habib Salim bin Abdullah As-Syathiri, Pengasuh Darul Musthafa Tarim Habib Umar bin Muhammad bin Hafizh, Rektor Universitas Al-Ahgaff Prof Habib Abdullah Muhammad Baharun, Rektor Universitas Al-Imam Al-Syafi’i Syaikh Muhammad Ali Ba’athiyyah, dan lainnya.
Bila dicermati, kegiatan bertabligh di Indonesia hingga saat ini, tetap berada di tangan para kyai dan alawiyyin. Mereka tersebar di pelosok-pelosok kepulauan Indonesia. Alawiyyin yang lebih dikenal dengan sebutan “Sayyid”, “Habib”, “Ayib” ini tetap dicintai di mana-mana dan memegang peranan rohani, sebagaimana juga di negara Islam lain. Kebiasaan dan tradisi Alawiyyin diikuti dalam perayaan maulid Nabi, haul, nikah, upacara-upacara kematian, yasinan, tahlil, dan sebagainya.
Hubungan historis antara Hadramaut dan Nusantara dibuktikan dengan fakta unik lainnya. Sebagian putera Indonesia, beberapa di antaranya menjadi orang besar di Yaman. Setelah masa studi, mereka tidak menetap kembali di tanah air. Sebut saja Habib Zain bin Abdul Qodir bin Smith, seorang ulama Yaman, penulis kitab produktif dan Pengasuh Rubath Al-Madinah Al-Munawwarah, Saudi Arabia. Ulama ini lahir di Bogor, Jawa Barat.
Selain itu, terdapat nama Syaikh Fadlal bin Abdurrahman Ba Fadlal, penulis kitab Manahil Al-Irfan, Ketua Majlis Fatwa Tarim Hadramaut hingga tahun 2000. Pria ini dilahirkan di Cirebon Jawa Barat. Tak hanya ulama, putra Indonesia juga sukses menjadi negarawan di Yaman. Misalnya Umar Rasyid Baragba, mantan Menteri Perminyakan Yaman. Ia dilahirkan dan dibesarkan di Tulungagung, Jawa Timur.
Sumber: Ustadz Faris Khoirul Anam >>sholawat.co
0 Response to "Ternyata tradisi Ahlussunnah Wal Jama'ah seperti Maulidan, Diba, dan Barzanji itu lebih dekat dengan tradisi Hadramaut Yaman"
Posting Komentar