Misteri Babat Sejarah Wali Joko Kendal




Sejarah Wali Joko di Kendal, Jateng (1)
Nyuswito kepada Sunan Bonang dan Kalijaga

Wali Joko merupakan salah satu santri Sunan Kalijaga yang ditugasi untuk menyebarkan agama Islam di sekitar Kendal. Wali Joko yang memiliki nama kecil Jaka Suwirya ini masih memiliki hubungan dengan Sunan Katong yang konon dimakamkan di Kaliwungu. Berikut ini laporan posmo.

Saat masih muda, Wali Joko bernama Pangeran Panggung. Beliau merupakan putra bungsu Prabu Kertabumi atau Prabu Brawijaya V dengan Permaisuri Dewi Murdaningrum (Candrawati), seorang putri dari Kerajaan Campa. Wali Joko masih memiliki hubungan darah dengan Raden Patah, raja pertama Kesultanan Demak Bintoro. Raden Patah adalah putra Prabu Kertabumi dengan Permaisuri putri Kerajaan Campa, Dewi Kian (Tan Bumi) dari tanah Canyu Thailand (Muangthai).
Saat masih kecil, Wali Joko menyandang nama Raden Joko Suwiryo, namun nama itu berubah menjadi sebutan Pangeran Panggung ketika beliau menginjak usia dewasa. Jika dilihat dalam segi usia, Raden Patah lebih tua daripada Pangeran Panggung. Beliau lahir tahun 1450 Masehi, sedangkan Batoro Katong 1457 Masehi dan Wali Joko (Pangeran Panggung) sendiri sebagai putra Kertabumi V putra ragil lahir 1463 Masehi.
Perjalanan hidup Wali Joko dimulai setelah berakhirnya kekuasaan kerajaan Majapahit yang kalah perang dengan kerajaan Kediri. Saat itu kerajaan Kediri di bawah kepemimpinan Prabu Girinda Wardana. Prabu Brawijaya V pun tersingkir dan melarikan diri menuju wilayah Bojonegoro, tepatnya di Desa Singorojo yang berada dibawah kaki Gunung Lawu.
Wali Joko Putra terakhir Kertabumi ikut terpental dengan ayahandanya. Beliau lari ke arah timur Tuban. Bersamaan dengan runtuhnya kerajaan Majapahit, berdirilah kerajaan Islam yang didirikan oleh Raden Patah untuk pertama kalinya di Tanah Jawa, yakni kerajaan Demak. Setelah itu nama Raden Patah diabadikan dengan gelar Syekh Sultan Alam Akbar.
“Berbeda dengan Wali Joko, selama berada di tempat pengungsian, Wali Joko berkenalan dengan salah seorang murid Sunan Ampel yang bernama Syekh Maulana Magdum Ibrahim, seorang mubaligh di Desa Bonang-Tuban. Selama berada di Tuban, Wali Joko banyak belajar mengenai ajaran Islam dengan teman barunya,” ujar HM Makmun Amin Takmir Masjid Kendal.
Seiring berjalannya waktu, Wali Joko mendengar kabar bahwa di Desa Bintoro, Demak, telah berdiri sebuah kerajaan Islam yang didirikan oleh kakaknya, Raden Patah. Wali Joko pun langsung tertarik untuk segera pergi ke sana. Keinginannya untuk kembali bergabung dengan kakaknya seakan luapan air laut yang tidak terbendung membanjiri hati dan pikirannya. Sebab beliau ingin mendapatkan ketenangan batin dengan memperdalam ilmu agama.
Akhirnya dengan diantar oleh teman barunya yang juga guru sekaligus pembimbing agamanya. Syekh Maulana Magdum Ibrahim menuju ke Demak dan bertemu dengan Raden Patah. Setelah menyampaikan niatnya di hadapan kakaknya (R.Patah), Wali Joko diutus untuk berguru kepada Kanjeng Sunan Kalijaga. Karena di situlah para mantan prajurit dan punggawa Majapahit nyuswito (nyantri), tidak terkecuali Raden Patah sendiri.
Setelah Nyuswito kepada Kanjeng Sunan Kalijaga, nama Pangeran Panggung diberi Laqab oleh Kanjeng Sunan dengan nama Syekh Rafi'udin. Hal tersebut dilakukan oleh Kanjeng Sunan untuk menakhidkan agar beliau menyadari bahwa setelah beberapa tahun nyantri, sudah waktunya untuk mendapatkan pengukuhan (wisuda).
Wali Joko pun diberikan izin oleh kanjeng Sunan Kalijaga untuk mengembangkan ilmu yang telah diperoleh selama nyantri. Hal ini semata-semata agar wali Joko sadar bahwa setelah diberikan nama baru dan nyucup ilmu sariat, makrifat hakikat, dia (R. Suwiryo) sekarang bukan Suwiryo sebagai punggowo projo atau prajurit Majapahit lagi, tetapi sudah berganti baju baru dengan Rafi'udin yang berarti penegak syariat agama Islam.

Berdakwah
Setelah mendapat izin serta restu dari Kanjeng Sunan, Wali Joko langsung berangkat untuk mengembangkan ilmunya dengan cara berdakwah. Beliau ditugaskan oleh Kanjeng Sunan untuk berdakwah di wilayah bagian Barat Semarang, yakni wilayah Kendal. Sesampainya di tempat tujuan, Wali Joko mula-mula menciptakan suasana lingkungan yang teduh, nyaman, dan indah dengan membangun sebuah tempat tinggal.
Dengan adanya tempat tinggal tersebut, Wali Joko berharap, masyarakat Kendal yang berkunjung ke rumahnya akan merasa senang, nyaman, dan akhirnya kerasan untuk tinggal berlama-lama di sana. Pertama Wali Joko mengajarkan tauhid pengenalan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pelajaran Aqo'id atau Aqidah ahlussunah Wal Jamaah.
Di samping Aqo'id juga mengajarkan Alquran, kemudian juga diajarkan Toriqoh Qodiriyah dan Naqshobandiyah. Ibarat pepatah, siapa yang menanam kebaikan akan menuai kebaikan pula. Tidak perlu waktu lama, Wali Joko memiliki sejumlah santri semakin hari murid-murid yang mengaji semakin banyak berdatangan dari berbagai desa. Konon meliputi daerah Gringsing (Batang) dan Kali Salak Limpung (Pekalongan).
Semakin hari semakin bertambah banyak, pondok Wali Joko pun sudah tidak muat untuk menampung para santri yang terus berdatangan. Satu-satunya jalan harus membangun masjid yang mampu menampung para santri. Maka dibangunlah masjid pada tahun 1493. Dibantu oleh para santrinya, Wali Joko kemudian membangun sebuah masjid, sarana perhubungan, saluran irigasi, dan masih banyak lagi.
Kala itu usia Wali Joko sekitar 30 tahun. Bangunan masjid yang pertama dengan ukuran 27 x 27 meter, terdiri 16 saka atapnya bersusun 3 dibuat dari sirap. Lantai plaster tempat wudu berupa kolah pendem yang mendapat aliran air dari Sungai Kendal yang dibuat sendiri oleh Wali Joko dengan menggoreskan tongkat dari Kedung Pengilon Desa Magangan.
Mengingat kebutuhan untuk pemeliharaan masjid dan untuk menjamin para santri yang mondok di masjid, Wali Joko membuka lahan pertanian di Desa Kauman, Karangsari. Langenharjo dan Sukolilan. Berjumlah kurang lebih 49 Ha, yang sekarang menjadi bondo masjid kenal dengan status wakaf bersertifikat. Demikian perjuangan Wali Joko hingga wafat sekitar umur 63 tahun, atau tahun 1526 M, dimakamkan di rumahnya atau makam Wali Joko sekarang terletak di sebelah tenggara Masjid Agung Kendal sekarang. Cahya



Sejarah Wali Joko di Kendal, Jateng (2-Habis)

Mengajarkan Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah
Wali Joko merupakan generasi wali setelah Walisongo. Ia mendapat tugas dari Sunan Kalijaga menyebarkan agama Islam di sekitar Kendal. Perjalanan hidupnya selalu berpindah-pindah dari desa satu ke desa yang lain. Kesukaannya melakukan zuhud di pinggir sungai yang jauh dari keramaian masyarakat. Hingga akhirnya menetap di Kendal. Berikut ini laporan posmo.

Setelah Wali Joko memiliki tempat tinggal yang permanen, maka ia berniat untuk selamanya tinggal di Kendal. Karena dengan adanya tempat tinggal tersebut, Wali Joko berharap, masyarakat Kendal yang berkunjung ke rumahnya akan merasa senang, nyaman, dan akhirnya kerasan untuk tinggal berlama-lama di sana. Sebab selama ini beliau bertempat tinggal berpindah-pindah. Salah satunya di Pulau Seperapat Juwana, Pati.
Di Kendal Wali Joko mengajarkan tauhid untuk pengenalan ajaran Islam terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Yaitu Allah Yang Maha Pencipta. Kemudian memberikan pelajaran tentang pelajaran Aqo'id atau Aqidah ahlussunah Wal Jamaah. Ajaran ini berasal dari Walisongo yang selama ini memberikan ilmunya kepada Wali Joko. Salah satunya adalah Sunan Kalijaga.
Di samping Aqo'id juga mengajarkan Alquran, kemudian juga diajarkan Tarekat Qadiriyah dan Naqshabandiyah. Ajaran ini rupanya mengena langsung di hati masyarakat. Sehingga banyak orang yang belajar kepada Wali Joko. Dalam waktu singkat Kendal penduduknya banyak yang beragama Islam.
Ibarat pepatah, siapa yang menanam kebaikan akan menuai kebaikan pula. Tidak perlu waktu lama, Wali Joko memiliki sejumlah santri semakin hari semakin banyak berdatangan dari berbagai desa. Konon meliputi daerah Gringsing (Batang) dan Kali Salak Limpung (Pekalongan).
Semakin hari semakin bertambah banyak, pondok pesantren Wali Joko pun sudah tidak muat untuk menampung para santri yang terus berdatangan. Satu-satunya jalan harus membangun masjid yang mampu menampung para santri. Maka dibangunlah masjid pada tahun 1493.
Dibantu oleh para santrinya, Wali Joko kemudian membangun sebuah masjid, sarana perhubungan, saluran irigasi, dan masih banyak lagi. Mengingat kebutuhan untuk pemeliharaan masjid dan untuk menjamin para santri yang mondok di masjid. Sehingga dapat ditampung semuanya ke dalam masjid yang baru dibangun itu.
Bangunan masjid yang didirikan tidak jauh berbeda dengan Masjid Demak. Boleh dikatakan hampir sama jika dilihat dari luar. Yaitu beratap tumpang tanpa ada menaranya. Atapnya terbuat dari papan jati. Mengingat zaman dahulu belum mengenal genteng. Sebagian besar bangunan masjid terbuat dari kayu jati. Lagi pula kayu jati waktu itu cukup mudah didapat di daerah Kendal.

Kolah Pendem
Kala itu usia Wali Joko sekitar 30 tahun. Bangunan masjid yang pertama dengan ukuran 27 x 27 meter, terdiri atas 16 saka atapnya bersusun 3 dibuat dari sirap. Lantai plaster tempat wudu berupa kolah pendem yang mendapat aliran air dari Sungai Kendal yang dibuat sendiri oleh Wali Joko dengan menggoreskan tongkat dari Kedung Pengilon, Desa Magangan.
Kemudian untuk mencukupi kebutuhan para santri agar tidak kesulitan makan dan minum, maka Wali Joko membuka lahan pertanian di Desa Kauman, Karangsari, Langenharjo, dan Sukolilan. Berjumlah kurang lebih 49 Ha, yang sekarang menjadi bondo masjid Kendal dengan status wakaf bersertifikat.
Demikian perjuangan Wali Joko hingga wafat sekitar umur 63 tahun, atau tahun 1526 M, dimakamkan di rumahnya atau makam Wali Joko sekarang terletak di sebelah tenggara Masjid Agung Kendal sekarang. Para peziarah hanya dapat melihat makamnya.
Sayang sekali rumah yang didirikan itu dirobohkan secara total oleh pengurus masjid. Hal ini karena tidak mengerti akan arti pentingnya bangunan bersejarah perjuangan Wali Joko dalam upaya menyebarkan agama Islam di Kendal. Umat Islam yang berziarah hanya tinggal mendengar sebuah cerita tanpa ada bukti fisik rumah Wali Joko. Cahya


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Misteri Babat Sejarah Wali Joko Kendal"

Posting Komentar