Polemik yang terjadi di antara kaum modernis dan kaum tradisional yang mengakibatkan perpecahan umat Islam di Indonesia telah lama mengundang keprihatinan KH. Hasyim Asy’ari. Pada tahun 1935 saat Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin, beliau mengungkapkan :
“...sampailah kepadaku suatu berita, bahwa di antara kamu semuanya sampai kepada masa kini, berkobarlah api fitnah dan pertentangan-pertentangan.
...Wahai ulama-ulama yang telah ta’ashshub kepada setengah madzhab atau setengah qaul (pendapat)! Tinggalkanlah ta’ashshub-mu dalam soal-soal furu’ (ranting-ranting) itu! Yang ulama sendiri dalam hal demikian mempunyai dua pendapat. Satu pendapat ialah bahwa setiap orang yang berijtihad adalah benar! Dan satu pendapat lagi: Yang benar hanyalah satu, dan yang salah dapat pahala juga!
Tinggalkanlah ta’ashshub itu dan lepaskanlah diri daripada hawa nafsu yang merusak itu. Dan belalah agama Islam, berijtihad-lah menolak orang-orang yang menghina Al-Qur’an dan sifat-sifat Tuhan.
Berjuanglah menolak orang yang mendakwahi ilmu yang sesat dan kepercayaan yang merusak. Dan berjihadlah menghadapi orang-orang demikian adalah wajib! Alangkah baiknya jika tenagamu engkau sediakan buat itu.
Wahai seluruh insan!
Di hadapanmu sekarang berdirilah orang-orang kafir yang mengingkari Tuhan. Mereka telah memenuhi segala pelosok negeri ini. Siapakah di antara kamu yang bersedia tampil ke muka untuk berbahas dengan mereka dan berusaha menuntun mereka kepada jalan yang benar?
Wahai sekalian ulama!
Kejurusan inilah pergunakan ijtihad-mu dan dalam lapangan inilah kalau kamu hendak ber-ta’ashshub!
Adapun ta’ashshub kamu pada ranting-ranting agama, dan mendorongkan orang supaya memegang satu madzhab atau satu qaul, tidaklah disukai Allah Ta’ala! Dan tidaklah diridhai oleh Rasulullah SAW. Apatah lagi jika yang mendorongmu berlaku demikian, hanyalah semata-mata ta’ashshub, berebut-rebutan, dan berdengki-dengkian.
Sekiranya Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, Ibnu Hajar, dan Ramli masih hidup, niscaya mereka akan sangat menolak perbuatanmu ini.
...Bagaimana perasaanmu!
Kamu berkeras membicarakan furu’, yang dipertikaikan oleh ulama, tetapi tidak engkau ingkari perbuatan haram yang dilakukan orang, yang ijma’ sekalian ulama atas haramnya, sebagaimana zina (pelacuran), riba (rente), minum-minuman keras dan lain-lain. Tidak ada cemburumu melihat yang demikian itu. Kamu hanya cemburu pada Syafi’i dan Ibnu Hajar. Sehingga yang demikian itu menyebabkan pecahnya persatuan kalimahmu dan terputusnya hubungan kasih sayang di antara kamu, sehingga orang bodohlah yang menguasai kamu, sehingga jatuhlah haibah kebesaranmu di hadapan orang awam orang yang rendah budi, yang membicarakan cacat-cela kehormatanmu dengan tidak patut. Sehingga binasalah orang-orang itu karena perkataan mereka membicarakan kamu. Karena dagingmu telah bercampur racun, sebab kamu ulama. Dan kamu telah rusak binasa karena berbuat dosa yang besar!”
Kepada ulama kaum modernis, beliau mengimbau :
“Wahai ulama-ulama! Kalau kamu lihat orang berbuat suatu amalan berdasarkan qaul imam-imam yang boleh di-taqlidi (dituruti), meskipun qaul itu hukumnya marjuh (tidak kuat alasannya), maka jika kamu tidak setuju, janganlah kamu cerca mereka, namun beri petunjuklah dengan halus! Dan jika mereka tidak sudi mengikuti kamu, janganlah mereka dimusuhi. Kalau kamu berbuat demikian, samalah kamu dengan orang yang membangun sebuah istana, dengan menghancurkan lebih dahulu sebuah kota.”
Beliau melanjutkan :
“Janganlah kamu jadikan semuanya itu menjadi sebab buat bercerai-berai, berpecah-belah, bertengkar-tengkar, dan bermusuh-musuhan karena sesungguhnya yang demikian itu adalah melanggar hukum Tuhan dan dosa yang amat besar.
Itulah yang menyebabkan runtuh-leburnya bangunan suatu bangsa, sehingga tertutuplah di hadapannya setiap pintu kepada kebajikan. Itulah sebabnya maka dilarang Allah, hamba-Nya yang beriman dari bertengkar-tengkaran...
Tuhan berfirman, ‘Dan janganlah kamu bertengkar-tengkaran sehingga gagallah kamu dan hilanglah semangat kekuatanmu.’
...Belum jugakah tiba masanya kita insaf? Belum jugakah tiba masanya kita akan sadar dari kemabukan ini? Dan bangun dari kelalaian kita? Belum jugakah kita mengerti bahwa kemenangan kita semua tergantung kepada bantu-membantu dan persatuan yang padu di antara kita? Atau akan kita lanjutkan jugakah perpecahan ini, hina menghinakan, pecah memecah, munafik, pepat di luar pancung di dalam, rasa benci memenuhi hati, rasa dengki merusak kawan, dan sesat pusaka lama!
Padahal agama kita hanya satu belaka, Islam! Madzhab kita hanya satu belaka, Syafi’i! Daerah kita satu belaka, Jawa (Indonesia –pen)! Dan kita semuanya adalah Ahlussunnah wal Jama’ah belaka.” (Maksudnya dalam persatuan umat Islam Indonesia jangan abaikan madzhab mayoritas, yaitu Imam Syafi’i).
(KH. Hasyim Asy’ari dengan penerjemah Buya Hamka, Al-Mawaa’izh Syaikh Hasyim Asy’ari, Panji Masyarakat 15 Agustus 1959, hlm. 5-6).
0 Response to "Nasihat KH. Hasyim Asy'ari Mengenai Perpecahan Umat Islam"
Posting Komentar