Penulis: Al Ustadz Muhammad Umar as Sewed
Kaidah yang kedua dalam penerapan
Sunnah adalah menyampaikan Sunnah dan tidak memperdebatkannya. Karena
memperdebatkan Sunnah hanya akan membawa pada pertikaian yang berbuntut
pelecehan terhadap Sunnah Nabawiyah itu sendiri. Berkata Imam Malik
rahimahullah: “Perdebatan hanyalah akan membawa pada pertikaian dan
menghilangkan cahaya ilmu dari dalam hati, serta mengeraskan hati dan
melahirkan kedengkian. (Syiar a’lamin Nubala’, 8/ 106). Demikian pula dikatakan
oleh Imam Syafii dan lain-lain. (Syiar A’lamin Nubala’, 10/28). Dalam
pengamalan atau penyampaian sunnah kita hanya diperintahkan untuk menyampaikan
dengan jelas dan bukan memperdebatkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَطيعُوا اللَّهَ وَأَطيعُوا الرَّسولَ وَاحذَروا ۚ فَإِن
تَوَلَّيتُم فَاعلَموا أَنَّما عَلىٰ رَسولِنَا البَلٰغُ المُبينُ [المائدة : 92
“Dan ta’atlah kalian kepada Allah
dan ta’atlah kepada Rasul-(Nya) dan berhati-hatilah. Jika kalian berpaling,
maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan
(amanat Allah) dengan terang.” (al-Maidah:
92)
Sampaikanlah Sunnah dengan
menjelaskan dalil-dalilnya secara ilmiah yaitu dengan menunjukkan keshahihan
haditsnya dan menjelaskan ucapan para Ulama tentang maknanya. Dengan kata lain
kita hanya menegakkan hujjah (dalil/keterangan, red) dan menunjukkan
kebenarannya secara riwayat dan dirayah (lihat edisi yang lalu). Adapun masalah
hidayah ada di tangan Allah.
Kita tidak bisa memaksa setiap orang
untuk menerima hidayah. Sehingga jika ada sebagian manusia yang membantah atau
memperdebatkan Sunnah setelah jelas baginya hujjah, maka itu hanyalah salah
satu dari beberapa cara penolakan terhadap Sunnah. Untuk itu mereka harus kita
tinggalkan dan kita tidak perlu sibuk melayaninya. Jika kita melayani mereka,
maka hal itu hanyalah akan membuang-buang waktu dan tidak akan memberikan
faedah sama sekali, bahkan hanya akan menimbulkan madlarat.
Allah mengancam mereka yang menolak
sunnah setelah jelas baginya dengan Adzab neraka Jahanam, sebagaimaa
firman-Nya:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ
الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى
وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا. [النساء : 115
“Dan barangsiapa yang menentang
Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya
itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali.” (an-Nisaa’:
115)
Pada suatu hari, Imam Malik pernah ditanya oleh seorang
yang bernama Haitsam bin Jamil:
“Wahai Abu Abdillah (yakni imam Malik), seorang
yang memiliki ilmu tentang sunnah apakah boleh dia berdebat untuk membelanya?”
Imam Malik menjawab: “Jangan! Tetapi hendaklah dia menyampaikan sunnah
tersebut. Jika diterima, itulah yang diharapkan; namun jika ditolak, maka
diamlah.” (Jami’ Bayanul Ilmih wa Fadlihi, juz 2 hal. 94)
Demikian pula Imam Ahmad
menyatakan: “Sampaikanlah sunnah dan jangan
kalian memperdebatkannya.” (Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Abi Ya’la,
melalui nukilan Syaikh Barjas dalam Dlaruratul Ihtimam, hal. 89)
Para ulama telah mengingatkan kaum
muslimin agar mereka jangan memperdebatkan masalah agama. Yang diperintahkan
kepada mereka adalah mengamalkan hal-hal yang telah diperintah oleh Allah dan
Rasul-Nya dan meninggalkan hal-hal yang telah dilarang. Kebinasaan yang telah
menimpa orang-orang sebelum kita adalah karena banyaknya perdebatan, protes dan
pertentangan serta perselisihan mereka terhadap nabi-nabi mereka.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam
bersabda :
مَانَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ وَمَا
أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَاسْتَطَعْتُمْ. فَإِنَّمَا أَهْلَكَ
الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى
أَنْبِيَائهِمْ. (متفق عليه
“Apa yang aku larang,
tinggalkanlah. Dan apa yang aku perintahkan, kerjakanlah sebisa kalian. Karena
sesungguhnya kebinasaan orang-orang sebelum kalian adalah karena banyaknya
perselisihan dan pertentangan mereka terhadap para nabinya.” (HR. Bukhari Muslim)
Oleh karena itu, kewajiban bagi kita
kepada umat adalah menyampaikan sunnah dengan menjelaskan keshahihan riwayatnya
dan kejelasan maknanya menurut ulama salaf. Jika mereka menerima dakwah kita,
kita ucapkan “Alhamdulillah”. Dan
kalau mereka menolak dengan mempermasalahkan dan memperdebatkannya dengan akal
dan perasaan mereka, maka tinggalkanlah!.
Jeleknya Ilmu Kalam (Filsafat)
Perdebatan terhadap nash-nash yang
telah jelas datangnya dari Allah dan Rasul-Nya merupakan sesuatu yang tercela. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِي ءَايَاتِ اللَّهِ بِغَيْرِ
سُلْطَانٍ أَتَاهُمْ إِنْ فِي صُدُورِهِمْ إِلاَّ كِبْرٌ مَا هُمْ بِبَالِغِيهِ
فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ. [ غافر : 56
“Sesungguhnya orang-orang yang
memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa ilmu yang sampai kepada mereka
tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang
mereka sekali-kali tidak akan mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada
Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Ghafir:
56)
Memang orang-orang yang sesat
seringkali diberi oleh Allah keahlian dalam berdebat dan bersilat lidah.
مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوْا
عَلَيْهِ إِلاَّ أُوْتُوا الْجَدَلَ. (رواه أحمد
“Tidaklah sesat satu
kaum setelah datangnya petunjuk kecuali setelah diberikan kepada mereka kepandaian
debat.” (HR. Ahmad) (Syaikh Barjas dalam
Dlaruratul Ihtimam, Syaikh Barjas, hal. 89)
Ilmu debat/kalam bukanlah ilmu yang
bermanfaat. Bahkan sebaliknya hanya akan membawa madlarat dan kesesatan, karena
ilmu kalam adalah ilmu yang mengajarkan bagaimana membantah dengan akal dan
permainan kata-kata. Para ulama telah memperingatkan kita dari bahaya ilmu
kalam atau mantiq tersebut.
Berkata Imam Ahmad : “Janganlah
kalian bermajelis dengan ahlul kalam, walaupun ia membela sunnah. Karena
urusannya tidak akan membawa kebaikan!” (Al-Ibanah, juz 2/540
melalui nukilan Lamu ad-Duur Minal Qaulil Ma’tsur, Syaikh Jamal Ibnu Furaihan,
hal. 40)
Berkata Abdul Harits: “Aku
mendengar Abu Abdillah berkata: “Jika engkau melihat seseorang menyukai ilmu
kalam, maka berhati-hatilah kalian dengannya”. (Idem)
Imam Syafi’i berkata : “Barangsiapa yang bermantiq, maka dia akan jadi zindiq
(sesat).” Beliau juga berkata: “Hukumanku
bagi ahlul kalam adalah dipukul dengan pelepah korma dan sandal, dikelilingkan
ke kampung-kampung dan diumumkan di hadapan manusia: “Inilah balasan bagi
orang-orang yang meninggalkan kitab dan sunnah dan berpaling pada ilmu kalam.”
(Syarh al-Aqidatul ath-Thahawiyah, hal. 72)
Ingatlah wahai kaum muslimin, agama
ini bukanlah milik para pemenang debat. Tidak mesti mereka yang menjadi
pemenang dalam perdebatan adalah orang yang berada di atas kebenaran.
Dikisahkan oleh Ma’n
bin Isa: “Imam Malik bin Anas rahimahullah pada suatu pernah pulang dari suatu
majlis dalam keadaan beliau bertekan pada tanganku. Kemudian beliau ditemui
oleh seseorang yang dipanggil dengan nama Abul Hauriyah . Orang ini termasuk orang yang
sesat beraliran murji’ah. Ia berkata: “Wahai
hamba Allah, dengarkanlah dariku sesuatu. Aku ingin berbicara denganmu
menyampaikan argumentasiku kepadamu dan menyampaikan pendapatku kepadamu (yakni
mengajak berdebat –pent.)”. Maka Imam Malik
menjawab: “Bagaimana jika engkau bisa mengalahkanku?” Ia berkata: “Jika engkau kalah, maka engkau harus
mengikutiku”. Imam Malik berkata lagi: “Jika
datang orang ke-3 menyampaikan argumentasinya kepada kita, kemudian ia
mengalahkan kita?” Ia menjawab: “Jika kita
kalah, maka kitapun mengikutinya”. Mendengar
jawaban ini, Imam Malik berkata: “Wahai
hamba Allah, Allah telah mengutus Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam
dengan agama yang satu, tetapi aku melihat engkau berpindah-pindah dari satu
agama ke agama yang lain”. Dalam riwayat
yang lain: “Bukanlah agama ini milik para pemenang debat”. (Asy-Syari’ah,
al-Ajurri, 64)
Wallahu a’lam
(Bersambung ke Kaidah-Kaidah
Penerapan Sunnah Mempertimbangkan Maslahat dan Mafsadah).
(Dikutip dari Bulletin Dakwah Manhaj
Salaf Edisi: 18/Th. I tgl 22 Dulhijjah 1424 H/13 Pebruari 2004 M, penulis
Ustadz Muhammad Umar as Sewed, judul asli “Kaidah-kaidah penerapan Sunnah :
Sampaikan Sunnah dan Jangan Diperdebatkan”. Risalah Dakwah MANHAJ SALAF, Insya
Allah terbit setiap hari Jum’at. Infaq Rp. 100,-/exp. Pesanan min. 50 exp bayar
di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT
06 RW 03, Cirebon. telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab: Ustadz Muhammad Umar
As-Sewed; Redaksi: Muhammad Sholehuddin, Dedi Supriyadi, Eri Ziyad; Sekretaris:
Ahmad Fauzan; Sirkulasi: Arief, Agus Rudiyanto; Keuangan: Kusnendi. Pemesanan
hubungi: Abu Rahmah HP. 081564634143)
Sumber :
0 Response to "Kaidah Penerapan Sunnah : Jangan Diperdebatkan"
Posting Komentar