Perang Diponegoro 2
Perang Besar Berakhir Licik
Banyak pakar sejarah mengakui, Perang Jawa yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro merupakan perang rakyat pribumi melawan penjajah Belanda yang paling gemilang di awal abad XIX. Selama dalam kurun waktu 5 tahun, lebih dari 200.000 penduduk Jawa, 8.000 serdadu Belanda dan 7.000 prajurit pribumi tewas menjadi korban. Perang Diponegoro juga menyisakan kisah kesaktian sang pangeran dan para panglimanya.
Kedahsyatan Perang Diponegoro, telah menimbulkan begitu banyak kerugian di pihak Belanda. Laskar Diponegoro menjadi pasukan pribumi yang tidak terkalahkan. Tetapi, politik kotor Belanda menyudahinya. Secara tidak terhormat, Belanda menjebak Pangeran Diponegoro dalam sebuah perundingan di Karisidenan Kedu Surakarta, Magelang, Jawa Tengah. Tetapi sebelum penjebakan itu terjadi, pengkianatan yang melemahkan kekuatan perang Pangeran Diponegoro juga terjadi. Dua senopati perang Diponegoro yang paling gagah, Kiai Mojo dan Raden Ali Basah Sentot Prawirodirjo berkhianat.
Ki Roni Sodewo mengatakan, semasa dalam perang itu seluruh keuangan yang diperlukan dipegang dan diatur oleh Pangeran Diponegoro. Suatu ketika, Raden Ali Basah Sentot meminta agar diperkenankan untuk memungut upeti sendiri dari rakyat dan menggunakannya untuk keperluan perang. Namun, pada kenyataannya Raden Basah justru lebih sering menarik upeti ketimbang memikirkan peperangan. “Belanda yang mengetahui lalu menangkapnya. Tetapi, Belanda yang licik menawari Raden Basah gaji yang besar, jika mau berperang di pihaknya. Raden Basah menyanggupi dan dikirimlah Raden Basah ke Bengkulu untuk memerangi pasukan Padri. “Tetapi, dalam perang itu Raden Basah juga membelot dan justru bergabung dengan Pasukan Padri. Jadi, Raden Basah itu mendapatkan gelar pahlawan nasional karena membela Padri. Namun dengan Pangeran Diponegoro, Raden Basah berkhianat”, kata Ki Roni.
Sementara itu Kiai Mojo yang selama dalam masa jaya pertempuran menjadi senopati yang setia, juga tak luput dari godaan hawa nafsu kekuasaan. Ketika Pangeran Diponegoro berhasil menggempur Kesunanan Surakarta pada tahun 1827, Kiai Mojo meminta agar Pangeran Diponegoro segera mentasbihkan diri sebagai raja. Duduk di dampar kencono Kesunanan Surakarta dan jumeneng nata. Namun, Pangeran Diponegoro menolaknya. Sebab, bukan itu tujuan perangnya. “Kiai Mojo memang sangat berharap Pangeran Diponegoro menjadi raja, agar dirinya sendiri bisa menjadi Adipati di Kartosuro. Bahkan, Kiai Mojo juga membuatkan istana untuk Pangeran Diponegoro di desa Mutihan, Wates, Kulonprogo. Namun, itu pun ditolaknya. Pangeran Diponegoro menegaskan, tujuannya berperang bukan untuk menjadi raja atau pemimpin politik pemerintahan. Melainkan hanya ingin menjadi pemimpin agama dan mengusir kompeni Belanda dari tanah Jawa”, terang Ki Roni.
Muslihat Belanda
Di tengah kegamangan para pengikutnya itu, sambung Ki Roni, perundingan damai di Karisdenan Kedu terjadi. Awalnya pada tanggal 16 Februari 1830, Kolonel Cleerens menemui Pangeran Diponegoro di Remo, Bagelen, Purworejo untuk mengajak berunding dan mengakhiri peperangan. Tawaran damai itu tentu saja diterima, dan dipastikan perundingan akan diadakan pada tanggal 28 Maret 1830. Tetapi sejak sebulan sebelumnya ketika dalam bulan puasa, Pangeran Diponegoro dan pasukannya sudah berada di kawasan Karisidenan Kedu. Di sebelah barat Karisidenan di bantaran Kali Progo, laskar Diponegoro membuat perkemahan. Sementara itu, Pangeran Diponegoro membuat gubuk di tengah batuan datar di tengah aliran Kali Progo. Di Gubuk itu Pangeran Diponegoro menjalankan ibadah sholat.
Batu datar di tengah Kali Progo itu kini dikenal sebagai Petilasan Pasujudan Pangeran Diponegoro. Sementara itu tidak jauh dari kawasan itu pula, terdapat petilasan Raden Ali Basah Sentot yang sudah dibuatkan cungkup. “Sebenarnya pada perundingan itu, niat Pangeran Diponegoro hanya untuk halal bi halal dengan Jendral de Kock. Sebab, saat itu adalah hari ketiga Idul Fitri. Jadi, meskipun saling bermusuhan hubungan Jenderal de Kock dan Pangeran Diponegoro terjalin baik. Sering berkirim surat dan berkomunikasi. Bahkan setiap bulan Ramadhan, Belanda memberi kesempatan kepada Pangeran Diponegoro untuk menjalankan ibadah puasa dan tidak berperang selama dalam bulan suci itu”, jelas Ki Roni.
Namun, tak dinyana Kolonel Du Perron mengkhianati perundingan itu. Pangeran Diponegoro yang tak mau menghentikan perlawanannya langsung ditangkap. Dalam Babad Diponegoro yang ditulis tangan sendiri oleh Pangeran Diponegoro, kata Ki Roni, saat itu Pangeran Diponegoro memang sengaja tidak melawan. Bahkan dalam babad itu, dituliskan seandainya saja mau, Pangeran Diponegoro bisa menusukkan kerisnya ke tubuh de Kock. Namun, Pangeran Diponegoro memikirkan nasib laskarnya yang tidak menyadari penyergapan licik itu. Sementara itu, seluruh Karisidenan Kedu telah dikepung pasukan Belanda. “Berakhirlah Perang Diponegoro itu dengan penangkapan licik. Pada saat itu Pangeran Diponegoro menitipkan putra-putrinya kepada Belanda, dan kemudian diserahkan kepada Keraton. Perang Jawa berakhir pada tanggal 28 Maret 1830 dalam perundingan licik di Karisidenan itu”, pungkas Ki Roni. KOKO T.
0 Response to "Misteri Babat Perang Diponegoro 2"
Posting Komentar