Sejarah Mbah Karimah Mertua Sunan Ampel Surabaya
Menyebut nama Mbah Karimah tidak bisa dilepaskan dengan kisah Sunan Ampel. Sang sunan yang bernama Raden Rahmatullah alias Raden Rahmad ini muncul ketika Majapahit, kerajaan Hindu terakhir di Nusantara nyaris runtuh.
Musala yang berada di makam tempat Mbah Karimah bersemayam, dipercaya merupakan mushala pertama yang dibangun Sunan Ampel, penyebar Islam di Surabaya dan sekitarnya. Makam Mbah Karimah terletak di kawasan Kembang kuning, Surabaya. Untuk menuju makam mertua Sunan Ampel ini, bisa diawali berangkat dari masjid Rahmad terlebih dahulu yang letaknya juga tidak begitu jauh dari makam Mbah Karimah.
Setelah itu langkahkan kaki atau kendaraan anda mnyusuri perkampungan padat penduduk dengan jalan jalan sedikit menanjak, sekitar 500 meter dari masjid. Di depan Gapura akan terlihat tulisan makam Mbah Karimah. Setelah masuk kedalam gapura akan nampak pohon beringin besar yang diyakini berumur ratusan bahkan ribuan tahun. Halaman disekitar makam juga terasa sejuk, padahal jarang angina berhembus. Tidak jauh dari pohon Asem, terdapat tempat seperti aula dengan dua makam yang satu bertuliskan Mbah Soleh dimana dulunya murid atau cantriknya Mbah karimah dan yang satu lagi bertuliskan Mbah Karimah yang tertulis wafat 1377.
Seperti yang terlihat saat itu, tempat tersebut sepertinya tidak pernah sepi peziarah. Karena ada saja orang yang datang, mulai dari yang hanya sekedar menyempatkan diri sholat di musholla yang letaknya berdekatan dengan makam. Terkadang juga sekedar membaca ayat suci Alquran, bahkan ada juga yang sekedar duduk santai dibawah rindangnya pohon asem setelah berziarah.
“Tak jarang mereka datang kembali membawa nasi tumpeng untuk selamatan. Dimakan bersama dengan siapa saja yang saat itu ada di tempat tersebut.” Ungkap Suripto selaku juru kunci makam. Selain itu Juru kunci yang telah berumur 65 tahun ini juga sering diminta membacakan doanya.
Adapun kisah, bertemunya Mbah Karimah dengan Raden Rahmad (Sunan Ampel).awal abad 15 di tempat ini Sunan Ampel mendirikan tempat ibadah. Selain dipakai untuk sujud menyembah Allah SWT, juga wujud ucapan terimakasihnya kepada Wiroseroyo (pemeluk Hindu dari Majapahit) yang dikenal dengan sapaan Mbah Karimah.
Diceritakan oleh Juru kunci,saat itu Surabaya bagian Selatan masih berupa hutan belantara, seperti Wonokromo, wonosari, Wonokititri (wono=Hutan). Disana ada seseorang yang bernama Wiroseroyo, Dialah yang membabat alas di daerah kembang kuning. Tiap pagi bekerja, berjalan keluar masuk hutan. Setiap kali melewati daerah kembang kuning, selalu terdengar suara orang yang berbicara. Namun setelah dicari selalu saja tidak pernah ketemu.
Karena merasa penasaran dengan suara yang selalu didengarnya, Wiroseroyo pun mengajak serta anak gadisnya yang bernama karimah untuk turut serta mencari asal suara tersebut. Tidak disangka, rupanya yang sering terdengar berbicara sendiri adalah sosok pemuda tampan yang menghadap ke arah Barat dengan menengadahkan kedua tangannya ke atas. Berkali-kali disapa oleh Wiroseroyo, namun tidak dihiraukan. Karena Agama yang dianut Wiroseroyo saat itu adalah Hindu, maka dikiranya pemuda tadi sedang bertapa.
Melihat pemuda ganteng yang sedang tafakhur tersebut, Wiroseroyo punya niatan untuk membuatkan sebuah pondok secara diam-diam. Namun setelah menggali tanah untuk dijadikan pondasi, pemuda yang lama tidak bergerak nampak menoleh kepada Wiroseroyo. Dari sinilah kemudian keduanya saling berkenalan.
Tingkah laku Raden Rahmad benar-benar simpatik serta menarik. Sehingga Wiroseroyo merasa senang dengannya. Raden Rahmad pun kemudian memberitahukan jika Agama yang dianutnya adalah Islam. Wiroseroyo pun hanya bisa melongo karena kata Islam benar-benar baru terdengar di telinganya. Raden Rahmad pun kemudian menjelaskan panjang lebar mengenai Islam.
Melihat kekusukan Pemuda Tampan tersebut, Wiroseroyo beserta anaknya memutuskan untuk masuk dan memeluk agama yang dianut oleh Raden Rahmad. Karena takut kehilangan pemuda berakhlak mulia tersebut Wiroseroyo lalu menjodohkan Raden Rahmad dengan karimah.
Seiring berjalannya waktu, Wiroseroyo kemudian menjadi mertua Rahmatullah. Setelah mempersunting Karimah, Rahmatullah pamit meninggalkan hutan untuk melanjutkan dakwah. Sebelum ditinggalkan, di hutan tersebut telah berdiri musala kecil dari bilik. Kemudian, ia dan istrinya berjalan ke arah utara dan akhirnya menetap dan meninggal di kawasan Ampel, Surabaya Utara.
Setelah ditinggal Rahmatullah, Wiroseroyo hidup sendiri. Melanjutkan ajaran menantunya hingga kemudian lokasi itu ramai didatangi banyak orang dari berbagai penjuru negeri. Mereka ingin belajar bersama Wiroseroyo dan menjadi orang terkenal setelah kembali ke daerahnya. Wiroseroyo lambat laun dikenal sebagai Mbah Karimah. Dan seiring berjalannya waktu, Wiroseroyo atau Mbah Karimah kemudian menjadi mertua Rahmatullah (Sunan Ampel).
Mbah Karimah telah tiada, tercatat ia meninggal pada 1377. Namun, hingga kini pusaranya tidak pernah sepi dikunjungi. "Penguasa" hutan asal Majapahit itu ikut mengukir sejarah, mewarnai perjalanan seorang pemuda yang kini tersohor dengan nama Sunan Ampel (1401-1481). Cahya
0 Response to "Misteri Babat Sejarah Mbah Karimah Mertua Sunan Ampel"
Posting Komentar