Karakter Tawassuth, Tawazun, dan I’tidal
Sebagai pembeda dengan yang lain, ada tiga ciri Aswaja, yakni tiga sikap yang selalu diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya, yaitu:
At-Tawassuth (sikap tengah-tengah, sedang-sedang saja, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan). Disarikan dari firman Allah SWT:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ اُمَّةً وَسَطًا لِتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنُ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْداً (البقرة: 143)
“Dan demikianlah Kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian.” (QS. Al-Baqarah: 143).
At-Tawazun, (seimbang dalam segala hal, termasuk dalam penggunaan dalil ‘aqli dan dalil naqli). Firman Allah SWT:
لَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَاَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيْزَانَ لِيَقُوْمَ النَّاسُ بِاْلقِسْطِ (الحديد: 25)
“Sungguh Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. Al-Hadid: 25).
Al-I’tidal (tegak lurus). Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:
يَآاَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ للهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ، وَلاَيَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى اَنْ لاَتَعْدِلُوْا، اِعْدِلُوْا هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوْا اللهَ اِنَّ اللهَ خَبِيْرُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ (المائدة: 8)
“Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah: 8).
Selain ketiga prinsip ini, golongan Ahlussunnah wal-Jama’ah juga mengamalkan sikap tasamuh (toleransi). Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah:
فَقُولاَ لَهُ قَوْلاً لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى (طه :44)
“Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha: 44).
Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa as. dan Nabi Harun as. agar berkata dan bersikap baik kepada Fir'aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir (701-774 H/1302-1373 M) ketika menjabarkan ayat ini mengatakan, “Sesungguhnya dakwah Nabi Musa as. dan Nabi Harun as. kepada Fir'aun, adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah”. (Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim, juz III, hal. 206).
Wali Songo Penyebar Aswaja di Indonesia
Sebuah realitas yang tidak terbantahkan bahwa mayoritas umat Islam Indonesia sejak dulu hingga sekarang menganut faham Ahlussunnah wal-Jama’ah, dengan mengikuti madzhab Syafi’i dalam bidang fiqih, dan mengikuti Imam Abu Hasan al-Asy'ari dalam akidah (lihat Risalah Ahlissunnah wal Jama’ah, KH. Hasyim Asy’ari). Sudah barang tentu mereka mendapatkan faham tersebut dari ulama dan para da'i yang mengajak dan mengajarkan tentang agama Islam kepada mereka. Sesuatu yang sangat mustahil jika orang yang menyebarkan agama Islam tidak menganut faham Aswaja sementara yang diajak adalah penganut setia faham Ahlussunnah wal-Jama’ah.
Di sisi lain, semua sepakat bahwa da'i yang menyebarkan agama Islam ke Nusantara khususnya di pulau Jawa adalah Wali Songo. Karena itu dapat dikatakan bahwa Wali Songo adalah penganut Aswaja, kecuali jika ada fakta sejarah yang menunjukkan bahwa ajaran Aswaja masuk ke Indonesia dan merubah faham keagamaan yang telah berkembang terlebih dahulu.
Mengenai para sunan itu, sebagaimana ditulis KH. Muhyiddin Abdus Shomad, bahwa Prof. KH. Abdullah bin Nuh mengatakan bahwa kata sunan adalah sebutan mulia yang diperuntukkan bagi para raja dan para tokoh da'i Islam di Jawa. Nasab mereka bersambung sampai kepada Imam Ahmad al-Muhajir. Dan berdasarkan apa yang diajarkan oleh mereka, dapat dipahami bahwa mereka semua adalah ulama pengikut madzhab Asy-Syafi’i dan Sunni dalam dasar dan akidah keagamaannya. Mereka kemudian lebih terkenal dengan sebutan “Wali Songo.” (Al-Imam al-Muhajir, hal. 174).
Ada beberapa bukti bahwa Wali Songo termasuk golongan Ahlussunnah wal-Jama’ah. Selanjutnya, Prof. KH. Abdullah bin Nuh menjelaskan:
“Jika kita mempelajari primbon, yakni kumpulan ilmu dan rahasia kehidupan yang di dalamnya terdapat materi ajaran Ibrahim (Sunan Bonang), maka di sana kita akan mendapatkan banyak nama dan kitab yang menjadi referensi utama para da'i sembilan, berupa pendapat dan keyakinan, sebagaimana juga memuat masalah akidah dan fiqih dengan susunan yang bagus sesuai dengan akidah Ahlussunnah wal-Jama’ah dan madzhab Imam Asy-Syafi’i … Dari sini, menjadi jelas bahwa para da'i yang sangat terkenal dalam sejarah masyarakat Jawa dengan gelar Wali Songo itu termasuk tokoh utama dalam penyebaran ajaran Ahlussunnah wal-Jama’ah.” (Al-Imam al-Muhajir, hal. 182).
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Prof. KH. Saifuddin Zuhri (1919-1986 M). Ia menjelaskan beberapa tokoh yang menyebarkan madzhab Asy-Syafi’i di Indonesia, khususnya di pulau Jawa. Yakni Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri dan lainnya. Bahkan Sunan Giri merupakan lambang pemersatu bangsa Indonesia yang dirintis sejak abad 15 Masehi. Jika Gajah Mada dipandang sebagai pemersatu Nusantara melalui kekuatan politik dan militernya, maka Sunan Giri menjadi pemersatu melalui ilmu dan pengembangan pendidikannya. (Sejarah Kebangkitan Islam, hal. 286-287).
Bukti lain yang menegaskan bahwa Wali Songo penganut faham Aswaja adalah ritual keagamaan yang dilaksanakan secara turun temurun, tanpa ada perubahan, di masjid-masjid besar yang didirikan oleh Wali Songo, semisal Masjid Sunan Ampel Surabaya, Masjid Demak dan sebagainya. Semua merupakan cerminan dari ritual ibadah yang dilaksanakan oleh golongan Aswaja. Misalnya adzan Jum'at dikumandangkan dua kali. Pada bulan Ramadhan dilaksanakan shalat tarawih secara berjama'ah duapuluh raka'at sebulan penuh, kemudian antara setiap dua raka'at diselingi pembacaan taradhdhi kepada khalifah yang empat. Selanjutnya sebelum shubuh dibacakan tarhim sebagai persiapan melaksanakan shalat subuh. Tarhim adalah bacaan yang di dalamnya berisi do'a-do'a kepada semua umat Islam termasuk juga taradhdhi kepada khalifah yang empat.
Sudah tentu hanya orang-orang yang memiliki faham Aswaja yang melaksanakan hal tersebut. Sehingga semakin menegaskan bahwa Wali Songo adalah penganut faham Aswaja.
Dihimpun Yusuf Suharto (Ketua Aswaja NU Center Jombang). Dari redaksi tebuireng.org)
0 Response to "Dari Aswaja, Wali Songo, dan Nahdlatul 'Ulama"
Posting Komentar